‘The Hidden Treasures of Sudjana Kerton’ hadirkan kesempatan untuk menjelajahi warisan visual seniman revolusioner Sudjana Kerton.
Di tengah hiruk-pikuk dunia seni kontemporer Indonesia yang semakin komersial, nama Sudjana Kerton mungkin tidak segera muncul dalam percakapan sehari-hari. Namun, pameran ‘The Hidden Treasures of Sudjana Kerton’ yang digelar di Art:1 New Museum pada 12–26 Juni 2025, siap menggugah kesadaran kita akan warisan seorang visioner yang karyanya bukan sekadar lukisan, melainkan catatan visual perjalanan bangsa Indonesia dari masa revolusi hingga modernitas.
Pameran yang digagas oleh Sanggar Luhur, studio sekaligus galeri milik Kerton, ini bukan sekadar eksibisi biasa. Ini adalah upaya untuk menempatkan kembali sang maestro dalam peta seni rupa Indonesia, sekaligus mengajak publik menyelami pemikiran seorang seniman yang karyanya sarat dengan narasi sejarah, kritik sosial, dan pergulatan identitas.
“Warisan Sudjana Kerton melampaui sekadar kumpulan lukisan; karya-karyanya adalah catatan hidup tentang pendirian dan perkembangan sebuah bangsa, yang dipresentasikan melalui mata unik dan penuh empati seorang seniman yang sekaligus adalah pengamat tajam dan pelaku sejarah,” ujar Sadiah Boonstra, kurator pameran.
Tjandra Kerton, putri sang maestro yang kini mengelola Sanggar Luhur, berbagi kenangan tentang ayahnya di masa senja. "Di tahun-tahun terakhir hidupnya, beliau secara informal membimbing para mahasiswa seni dari berbagai sekolah seni di Bandung, mengingatkan mereka untuk tetap setia pada diri sendiri dan identitas mereka sebagai seniman Indonesia.”
Ia melanjutkan, “Karena itulah yang akan membawa mereka pada pemenuhan artistik, bukan mengejar uang dan ketenaran dengan mengorbankan integritas seni mereka.”
Perjalanan artistik Sudjana Kerton adalah kisah tentang keterlibatan langsung dengan denyut nadi zamannya. Di masa revolusi, ia bukan hanya memegang kuas, tapi juga pena reporter. Bersama tokoh-tokoh seperti Usmar Ismail di surat kabar Patriot, Kerton menciptakan sketsa-sketsa yang menjadi dokumen visual tak ternilai dari perjuangan kemerdekaan.
Garis-garis ekspresifnya yang spontan namun penuh kekuatan berhasil menangkap segala paradoks masa itu: wajah-wajah lelah para pejuang yang tetap bersemangat, ketegangan di meja diplomasi, hingga warga sipil yang terus menjalani hidup di tengah hujan peluru. Karya-karya ini bukan hanya bernilai artistik, tapi juga historis—sebuah perspektif unik yang jarang ditemui dalam buku-buku sejarah resmi.
Setelah menghabiskan lebih dari seperempat abad di Eropa dan Amerika, Kerton kembali ke tanah air pada 1976 dengan bekal pengalaman artistik yang kaya. Masa inilah yang kemudian melahirkan karya-karya paling matangnya, sebuah sintesis unik antara teknik Barat dan jiwa Indonesia.
Lukisan-lukisan terakhirnya menunjukkan transformasi gaya yang dramatis. Warna-warna cerah yang nyaris surealis, komposisi yang penuh dinamika, dan sentuhan humor yang khas menjadi ciri khas periode ini. Kerton seperti ingin mengatakan bahwa seni tidak harus selalu serius dan gelap; ada ruang untuk keceriaan bahkan dalam mengangkat tema-tema sosial yang berat.
Dalam konteks peringatan 80 tahun kemerdekaan, pameran ini menjadi semakin relevan. Karya-karya Kerton mengingatkan kita bahwa seni dan sejarah adalah dua sisi mata uang yang sama. Melalui sketsa-sketsa revolusinya, kita diajak merenungkan makna kemerdekaan yang sesungguhnya.
Sementara melalui lukisan-lukisan periode akhirnya, Kerton seolah ingin mengatakan bahwa seni harus tetap hidup dan bernafas bersama perubahan zaman—tanpa kehilangan akar budayanya. Pesan inilah yang mungkin paling dibutuhkan oleh generasi seniman muda Indonesia saat ini.
Pameran ini hanyalah pembuka. Sanggar Luhur akan terus aktif mempromosikan warisan Kerton, termasuk dengan berpartisipasi dalam ArtMoments Jakarta 2025. Salah satu momen paling dinantikan adalah lelang amal sketsa ikonis Gambar Toong dalam Charity Moments 2025.