Di sebuah sudut Thailand timur laut yang dikenal sebagai Tharae, narasi tentang ketakutan digeser menjadi cerita tentang identitas, ingatan kolektif, dan dialog lintas kepercayaan.
Film Tharae: The Exorcist menangkap bagaimana komunitas Katolik tertua di kawasan itu menghadapi perubahan perilaku, krisis keluarga, dan upaya bersama untuk menemukan penyembuhan sosial dan spiritual.
Tharae bukan hanya lokasi; ia adalah karakter sendiri. Desa ini memadukan arsitektur kolonial kecil, parade Natal yang khas, serta praktik-praktik leluhur yang masih hidup menciptakan lapisan budaya yang saling membentuk. Di sini, agama terinstitusionalisasi dan tradisi lokal berjalan berdampingan, misa di gereja berdampingan dengan ritual-ritual komunitas yang diwariskan turun-temurun. Film ini menempatkan kehidupan sehari-hari tersebut di hadapan penonton, bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menjelaskan bagaimana masyarakat merespons ketidakpastian.
Jalan cerita: krisis sebagai cermin sosial
Kisah berpusat pada keluarga Ming mantan imam yang kini menunjukkan perubahan perilaku yang membingungkan warga. Putrinya, Malee, pulang dari Bangkok untuk merawat sang ayah dan menemukan kembali sejarah keluarga yang retak. Sementara itu, tokoh-tokoh lain seperti Sopha, praktisi penyembuhan tradisional, dan Father Paolo, imam muda yang ditugaskan menengahi ketegangan, menjadi wajah dari dua sistem kepercayaan yang berinteraksi. Ketegangan yang muncul bukanlah sensasi supernatural untuk sensasi semata; melainkan manifestasi keretakan nilai, trauma sejarah, dan kebutuhan komunitas untuk dialog.
Ritual sebagai bahasa budaya
Salah satu kekuatan film ini adalah cara memperlakukan ritual bukan sebagai efek sinematik, tetapi sebagai bahasa yang menjelaskan cara sebuah komunitas merawat anggotanya. Praktik “yao” dan ritual penyembuhan lokal digambarkan sebagai mekanisme sosial: cara untuk menyatukan memori kolektif, memberi makna pada penderitaan, dan merawat mereka yang mengalami perubahan perilaku atau gangguan keluarga. Di sisi lain, liturgi dan peran gereja menampilkan pendekatan institusional terhadap krisis dan keduanya saling menantang sekaligus memberi peluang bagi kolaborasi.
Film tidak mengandalkan stereotip; ia membangun karakter yang kompleks:
Grandpa Ming merepresentasikan luka sejarah dan identitas yang retak dan seorang figur yang membawa beban masa lalu gereja dan tradisi lokal.
Malee, sang putri, menghadirkan perspektif generasi muda yang harus menyeimbangkan tanggung jawab keluarga dan modernitas.
Sopha, praktisi lokal, adalah penjaga tradisi yang juga berfungsi sebagai jembatan — figur yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan lokal dapat bekerja sama dengan institusi agama.
Father Paolo, imam muda, memerankan pergulatan batin seorang pemimpin agama yang mencoba menumbuhkan kepercayaan dan perdamaian di komunitas multi-tradisi.
Melalui interaksi mereka, film mengangkat tema universal: bagaimana komunitas merespons krisis, bagaimana keluarga menjadi medan perebutan makna, dan bagaimana dialog lintas-kepercayaan dapat menjadi jalan menuju penyembuhan.
Pendekatan produksi
Tim produksi mengambil jalur kolaboratif yakni berdialog dengan keuskupan setempat dan praktisi ritual untuk memastikan representasi yang akurat dan penuh hormat. Fokus estetika diarahkan pada suasana budaya, bahasa tubuh, dan ritme ritual alih-alih efek sensasi. Ini menegaskan komitmen pembuat film untuk menghormati praktik keagamaan dan tradisi lokal sekaligus menyuguhkan narasi yang memikat.
Sutradara Taweewat Wantha menegaskan bahwa tujuan film bukan memancing kengerian, melainkan “membuka ruang dialog antara praktik Kristen yang terinstitusionalisasi dan ritual leluhur yang diwariskan sehingga penonton memahami latar sejarah dan budaya yang membentuk reaksi individu dan komunitas ketika menghadapi krisis.”
Mengapa film ini penting untuk pembaca masa kini
Di era dimana kisah-kisah sensasi terkadang menutupi konteks, Tharae mengajak audiens kembali memperhatikan akar budaya dan sosial dari sebuah peristiwa. Film ini relevan bagi pembaca yang tertarik pada antropologi visual, studi agama, dan drama keluarga yang kuat semua dikemas tanpa bergantung pada elemen horor. Ia juga membuka diskusi tentang bagaimana institusi dan tradisi lokal dapat saling belajar demi kepentingan bersama.