Share
Voice of Baceprot: Suara Perlawanan dari Tanah Sunda yang Menggema ke Panggung Dunia
Hasya Notarbartolo
15 September 2025

Di tengah dunia musik yang sering terasa monoton, tiga perempuan muda asal Garut, Jawa Barat, hadir membawa gebrakan dahsyat. Lewat band mereka, Voice of Baceprot (VoB), mereka berhasil mematahkan stereotip, menaklukkan panggung-panggung dunia seperti Glastonbury dan Wacken Open Air, serta mendefinisikan ulang makna menjadi band metal.


Trio metal ini terdiri dari Firdda Marsya Kurnia (vokal/gitar), Widi Rahmawati (bas), dan Euis Siti Aisyah (drum). Mereka membuktikan bahwa musik tidak mengenal batas geografis maupun budaya. Saat terbentuk pada 2014, mereka bahkan tak pernah membayangkan akan melangkah sejauh ini.

“Band ini awalnya cuma wadah untuk kami mengeluarkan keluh kesah,” kenang mereka. Popularitas dan panggung internasional bukanlah tujuan utama. Dulu, mereka bahkan bercanda soal “izin ke mamah buat manggung di Jerman”. Bagi VoB, kesuksesan sederhana saja: selama musik mereka punya pendengar dan bisa “nyambung” dengan hati orang lain, itulah kemenangan sejati.

Voice of Baceprot

Seiring waktu, mereka mulai menyadari bahwa musiknya telah menembus batas negeri. Komentar di media sosial tak lagi hanya berbahasa Indonesia atau Sunda, lagu mereka di-cover oleh musisi mancanegara, dan akademisi luar negeri menggunakan karya VoB sebagai bahan kajian.

“Banyak dosen luar negeri mengirim pesan lewat DM, bilang kalau mereka membedah lagu kami di kelas,” ungkap mereka. Momen itu membuat mereka sadar bahwa musiknya sudah bergema jauh.

Identitas mereka—perempuan, berhijab, dan bermain metal—sering menarik perhatian, namun audiens internasional justru merespons positif. Beberapa hanya ingin memahami lebih dalam, sementara yang lain berdiskusi agar tidak terjadi salah paham. “Walaupun ada juga beberapa yang emosional, tapi kami mengerti bahwa setiap orang punya cara berbeda dalam mengekspresikan ketidak tahuannya,” jelas mereka.

Meskipun citra mereka sering menjadi topik global, VoB menekankan bahwa penampilan tidak boleh menutupi musikalitas. “Identitas kami bukan kostum panggung. Kami perempuan, kami Muslim, kami orang Indonesia dan semuanya melekat dalam cara kami berkarya,” tegas mereka.

Voice of Baceprot

Salah satu elemen terpenting dalam identitas VoB adalah akar budaya Sunda mereka. Nama “Baceprot” sendiri berarti “berisik”. Namun, keterikatan mereka bukan sekadar soal nama. Banyak lagu lahir dari kedekatan dengan alam dan isu sosial yang mengakar di tanah kelahiran.

Meski begitu, mereka menganggap unsur Sunda terlalu sakral untuk sekadar jadi gimmick. “Sampai sejauh ini kami masih mengeksplor cara memasukannya ke musik tanpa mengurangi kesakralannya,” kata mereka.

Penggunaan bahasa Sunda dalam lirik menjadi bentuk nyata. Bagi VoB, bahasa daerah bukan hanya identitas, tapi warisan yang sarat nilai, filosofi, bahkan luka kolektif. “Dengan memasukkan bahasa Sunda dalam lirik, kami ingin bilang bahwa budaya kami layak berdiri di panggung dunia, sejajar dengan yang lain,” tegas mereka. “Ini bentuk perlawanan kami terhadap lupa dan upaya kami untuk menghidupkan kembali apa yang hampir ditinggalkan.”

Kebiasaan menyelipkan bahasa Sunda pun kerap terbawa ke wawancara dan podcast. Awalnya karena spontanitas, tapi tanpa disangka banyak orang justru tertarik belajar. “Mereka jadi tahu, ‘oh, ternyata bahasa Sundanya ini’. Dan kami tidak pernah merasa itu memalukan atau kampungan,” tambah mereka.

Voice of Baceprot

Di balik dentuman gitar dan gebukan drum, musik VoB sarat pesan sosial. Mereka terinspirasi nilai-nilai khas Indonesia: solidaritas, gotong royong, hingga keberanian berdiri bersama kaum lemah.

“Buat kami, solidaritas itu bukan cuma soal saling bantu, tapi juga keberanian untuk berdiri bersama yang lemah, yang disingkirkan, dan mereka-mereka yang termarjinalkan,” ujar mereka. “Kami ingin menguatkan semangat kolektif yang hari ini tengah membara, terutama di kalangan teman-teman muda.”

Identitas sebagai perempuan Muslim dari Jawa Barat pun memperkaya ekspresi mereka. “Kami tumbuh di negara dengan beragam suku dan budaya. Namun sayangnya, masih ada beberapa tempat yang sulit mengapresiasi dan menerima perbedaan. Salah satunya adalah tempat kami,” ungkap mereka.

Di tengah stigma dan diskriminasi yang dialami, VoB memilih untuk membawa empati dan toleransi ke dalam karya. “Karena semua yang kami alami, rasa 'harus punya empati' dan rasa toleran mulai tumbuh secara perlahan lewat kejadian-kejadian yang mengiringi pertumbuhan kami bertiga. Itu yang coba kami bawa lewat musik VoB.”

Voice of Baceprot

Kerap dianggap simbol perempuan Indonesia yang menembus stigma, mereka tetap menolak menjadi representasi tunggal. “Tentu di luaran sana masih teramat banyak juga para perempuan muslim yang sama-sama berjuang melalui jalannya masing-masing, dan mereka layak diberikan panggung dan dimaknai juga perjuangannya,” ujar mereka. Peran VoB, menurut mereka, adalah menghadirkan keberagaman itu ke kancah lokal maupun global lewat musik.

Bagi VoB, musik bukan sekadar hiburan, melainkan medium perjuangan. Mereka memimpikan dunia yang setara, penuh empati, dan bebas dari rasa takut untuk menjadi diri sendiri—tempat di mana perempuan dan laki-laki berdampingan merawat bumi, dan perbedaan tak lagi jadi alasan penindasan. “Kami berharap musik VoB mampu menjadi jembatan penghubung pesan-pesan itu hingga sampai ke tempat manapun yang dikehendakinya,” pungkas mereka.

Voice of Baceprot

Dari Garut hingga Glastonbury, Voice of Baceprot membuktikan bahwa keberanian untuk jujur pada identitas mampu menggetarkan panggung dunia. Mereka tidak hanya membawa musik, tetapi juga harapan, solidaritas, dan suara perempuan Indonesia yang pantas mendapat tempat di barisan depan panggung global.